Rabu, 27 Oktober 2010

RENUNGAN

DISIPLIN PIKIRAN

Jap Wie Liang, salah seorang distributor di sebuah perusahaan MLM terkemuka, pernah mengaku kepada temannya bahwa kunci suksesnya adalah selalu berusaha “berpikir bias”. Untuk meyakinkan temannya ia mengutip Dhamapada, kitab suci agama budha yang dianutnya, di dalamnya tertulis kalimat-kalimat berikut : “pikiran adalah pelopor,pikiran adalah pemimpin,pikiran adalah pembentuk. Bila seseorang berpikir bias, maka bias pun akan mengikutinya. Bila seseorang berpikir tidak bias, maka tidak bias pun akan mengikutinya. Pikiran bagaikan roda pedati yang mengikuti langkah lembu yang menariknya”.
Hasil dari disiplin “berpikir bias” semacam itu sungguh luar biasa. Pria yang awalnya mengaku sangat rendah diri itu kemudian berhasil mengalahkan dirinya sendiri. Ia menerobos batas keminderannya dan secara bertahap berhasil menumbuhkan rasa percaya diri yang lebih sehat. Dan dengan demikian ia kemudian menuai konsekuansi dari kebiasaan “berpikir bisa” itu, antara lain sebuah rumah milik sendiri di Jakarta Timur, sebuah mobil Suzuki Esteem, dan sebuah mobil mewah merk BMW. Dari seorang karyawan kecil dengan gaji Rp 700.000,00per bulan (itupun setelah bekerja 17 tahun), ia kemudian menjadi wirausaha mandiri yang relative makmur dan berkecukupan.
Kita tahu bahwa konsep “berpikir bisa” ini tidak saja bernuansa Buddhisme. Ia merupakan konsep yang dapat diterima secara universal oleh hampir semua agama yang berkembang di Indinesia. Dalam apa yang disebut-sebut sebagai New Age Movement atau Gerakan Zaman Baru, kekuatan pikiran manusia itu juga banyak dikampanyekan, bahkan dalam dosis yang menimbulkan banyak kritik dari kaum agamawan. Keberatan utama yang banyak disampaikan antara lain berpangkal pada kecenderungan untuk men-tuhan-kan pikiran dan diri manusia serta menolak konsep “Keberadaan Allah” sebagai Pribadi Yang Maha Esa (Sang Pencipta) yang berada diluar diri manusia.
Lalu bagaimana mendisiplinkan pikiran agar tidak sampai kebablasan menjadi diper-tuhan-kan (musyrik)? Mungkin tak bisa lain kecuali dengan rajin dan tekun merenung-renungkan ayat-ayat dalam kitab suci, memperbesar iman dan takwa (ketaatan) kepada Tuhan Yang Maha Esa. Berdo’a, shalat, berzikir, berkontemplasi, bersaat teduh, amat boleh jadi merupakan cara yang efektif untuk mencegah pikiran menjadi Ilah sesembahan yang mengakibatkan kemurtadan/kekafiran.

TEKNIK MENDISIPLIN DIRI

“Life is suffering”, kata Buddha.”Life is difficult, life is a series of problem”, dukung scot peck dalam bukunya The Road Less Travelled (1978). Pernyataan semacam itu mungkin dapat menampar pujian terhadap film bertajuk Iife Is Beautiful yang pernah diputar di Indonesia beberapa waktu silam. Yang satu sama lain saling bertolak belakang.
Sebagai sebuah perangkat dasar, disiplin sebenarnya dapat diterapkan bahkan oleh seorang anak berusia 10 tahunan. Ia bukanlah perangkat yang kompleks dan rumit, sehingga tidak memerlukan pelatihan ekstensif untuk menguasainya. Latihan mendisiplin diri adalah latihan yang sederhana, sebab anak yang berusia 10 tahunan tak mungkin dapat melakukan hal-hal yang kompleks.
Sebagai perangkat untuk mengatasi berbagai penderitaan dan masalah dalam kehidupan, latihan untuk mendisiplin diri memerlukan 4 teknik, yakni : delaying of gratification (menunda kenikmatan), accetance of responsibility (menerima tanggung jawab), dedication to truth (mengabdi pada kebenaran), dan balancing (menyeimbangkan).
Latihan untuk menunda kenikmatan dapat dimulai dengan membiasakan diri untuk mengerjakan hal-hal yang sulit lebih dulu. Asumsinya adalah bila kita terbiasa mengerjakan hal-hal yang sulit lebih dulu, maka hal-hal yang mudah akan dapat diselesaikan dengan sendirinya. Apabila orang tua mendemonstrasikan hal semacam ini, katakanlah semacam modelling the way (memberi teladan), maka anak-anaknya akan mudah belajar mendisiplin diri.
Latihan untuk menerima tanggung jawab dapat dimulai dengan tidak lagi melemparkan kesalahan dan mencari-cari kambing hitam atas suatu persoalan yang muncul. Latihan ini bermuara pada pergeseran dari apa yang disebut Stephen Covey sebagai “paradigma Anda” menjadi “paradigma Saya” . “saya bertanggung jawab atas segala perkataan dan tindakan saya,” demikian sikap dasar yang perlu dianut. Hindari kebiasaan menyalahkan pihak lain atau hal lain seperti “ saya begini karena ia begitu” atau saya begini karena situasinya begitu”. Gunakan The Power Of Choce, bahwa kita dapat memilih untuk memberikan tanggapan secara mandiri sesuai dengan keyakinan sendiri, tanpa pendiktean dan pemaksaan situasi atau pihak lain.
Latihan mengabdi pada kebenaran dapat dilakukan dengan terus menerus memperbarui peta mental kita. Menghindarkan diri dari kecenderungan merasa paling benar adalah bagian dari latihan ini. Perlu juga dipertahankan semangat untuk belajar secara berkesinambungan, di dalam maupun di luar lembaga-lembaga pengajaran formal. Selalu berusaha bersikap jujur hindari kemunafikan.
Latihan untuk menjaga keseimbangan memerlukan fleksibilitas sekaligus penilaian (judgment). Artinya disiplin itu sendiri tidak berarti kaku dan tak bersedia berubah sama sekali. Sebaliknya disiplin itu sendiri harus didisiplin agar pandangan, keyakinan, dan pendapat kita selalu dimungkinkan untuk berubah, bertumbuh, berkembang menuju kedewasaan dan kematangan. Meski tak sama, konsep ini parallel dengan konsep self renewal atau pembaruan dirinya.

TEKNIK MENDISIPLIN DIRI

DISIPLIN PIKIRAN

Jap Wie Liang, salah seorang distributor di sebuah perusahaan MLM terkemuka, pernah mengaku kepada temannya bahwa kunci suksesnya adalah selalu berusaha “berpikir bias”. Untuk meyakinkan temannya ia mengutip Dhamapada, kitab suci agama budha yang dianutnya, di dalamnya tertulis kalimat-kalimat berikut : “pikiran adalah pelopor,pikiran adalah pemimpin,pikiran adalah pembentuk. Bila seseorang berpikir bias, maka bias pun akan mengikutinya. Bila seseorang berpikir tidak bias, maka tidak bias pun akan mengikutinya. Pikiran bagaikan roda pedati yang mengikuti langkah lembu yang menariknya”.
Hasil dari disiplin “berpikir bias” semacam itu sungguh luar biasa. Pria yang awalnya mengaku sangat rendah diri itu kemudian berhasil mengalahkan dirinya sendiri. Ia menerobos batas keminderannya dan secara bertahap berhasil menumbuhkan rasa percaya diri yang lebih sehat. Dan dengan demikian ia kemudian menuai konsekuansi dari kebiasaan “berpikir bisa” itu, antara lain sebuah rumah milik sendiri di Jakarta Timur, sebuah mobil Suzuki Esteem, dan sebuah mobil mewah merk BMW. Dari seorang karyawan kecil dengan gaji Rp 700.000,00per bulan (itupun setelah bekerja 17 tahun), ia kemudian menjadi wirausaha mandiri yang relative makmur dan berkecukupan.
Kita tahu bahwa konsep “berpikir bisa” ini tidak saja bernuansa Buddhisme. Ia merupakan konsep yang dapat diterima secara universal oleh hampir semua agama yang berkembang di Indinesia. Dalam apa yang disebut-sebut sebagai New Age Movement atau Gerakan Zaman Baru, kekuatan pikiran manusia itu juga banyak dikampanyekan, bahkan dalam dosis yang menimbulkan banyak kritik dari kaum agamawan. Keberatan utama yang banyak disampaikan antara lain berpangkal pada kecenderungan untuk men-tuhan-kan pikiran dan diri manusia serta menolak konsep “Keberadaan Allah” sebagai Pribadi Yang Maha Esa (Sang Pencipta) yang berada diluar diri manusia.
Lalu bagaimana mendisiplinkan pikiran agar tidak sampai kebablasan menjadi diper-tuhan-kan (musyrik)? Mungkin tak bisa lain kecuali dengan rajin dan tekun merenung-renungkan ayat-ayat dalam kitab suci, memperbesar iman dan takwa (ketaatan) kepada Tuhan Yang Maha Esa. Berdo’a, shalat, berzikir, berkontemplasi, bersaat teduh, amat boleh jadi merupakan cara yang efektif untuk mencegah pikiran menjadi Ilah sesembahan yang mengakibatkan kemurtadan/kekafiran.

TEKNIK MENDISIPLIN DIRI

“Life is suffering”, kata Buddha.”Life is difficult, life is a series of problem”, dukung scot peck dalam bukunya The Road Less Travelled (1978). Pernyataan semacam itu mungkin dapat menampar pujian terhadap film bertajuk Iife Is Beautiful yang pernah diputar di Indonesia beberapa waktu silam. Yang satu sama lain saling bertolak belakang.
Sebagai sebuah perangkat dasar, disiplin sebenarnya dapat diterapkan bahkan oleh seorang anak berusia 10 tahunan. Ia bukanlah perangkat yang kompleks dan rumit, sehingga tidak memerlukan pelatihan ekstensif untuk menguasainya. Latihan mendisiplin diri adalah latihan yang sederhana, sebab anak yang berusia 10 tahunan tak mungkin dapat melakukan hal-hal yang kompleks.
Sebagai perangkat untuk mengatasi berbagai penderitaan dan masalah dalam kehidupan, latihan untuk mendisiplin diri memerlukan 4 teknik, yakni : delaying of gratification (menunda kenikmatan), accetance of responsibility (menerima tanggung jawab), dedication to truth (mengabdi pada kebenaran), dan balancing (menyeimbangkan).
Latihan untuk menunda kenikmatan dapat dimulai dengan membiasakan diri untuk mengerjakan hal-hal yang sulit lebih dulu. Asumsinya adalah bila kita terbiasa mengerjakan hal-hal yang sulit lebih dulu, maka hal-hal yang mudah akan dapat diselesaikan dengan sendirinya. Apabila orang tua mendemonstrasikan hal semacam ini, katakanlah semacam modelling the way (memberi teladan), maka anak-anaknya akan mudah belajar mendisiplin diri.
Latihan untuk menerima tanggung jawab dapat dimulai dengan tidak lagi melemparkan kesalahan dan mencari-cari kambing hitam atas suatu persoalan yang muncul. Latihan ini bermuara pada pergeseran dari apa yang disebut Stephen Covey sebagai “paradigma Anda” menjadi “paradigma Saya” . “saya bertanggung jawab atas segala perkataan dan tindakan saya,” demikian sikap dasar yang perlu dianut. Hindari kebiasaan menyalahkan pihak lain atau hal lain seperti “ saya begini karena ia begitu” atau saya begini karena situasinya begitu”. Gunakan The Power Of Choce, bahwa kita dapat memilih untuk memberikan tanggapan secara mandiri sesuai dengan keyakinan sendiri, tanpa pendiktean dan pemaksaan situasi atau pihak lain.
Latihan mengabdi pada kebenaran dapat dilakukan dengan terus menerus memperbarui peta mental kita. Menghindarkan diri dari kecenderungan merasa paling benar adalah bagian dari latihan ini. Perlu juga dipertahankan semangat untuk belajar secara berkesinambungan, di dalam maupun di luar lembaga-lembaga pengajaran formal. Selalu berusaha bersikap jujur hindari kemunafikan.
Latihan untuk menjaga keseimbangan memerlukan fleksibilitas sekaligus penilaian (judgment). Artinya disiplin itu sendiri tidak berarti kaku dan tak bersedia berubah sama sekali. Sebaliknya disiplin itu sendiri harus didisiplin agar pandangan, keyakinan, dan pendapat kita selalu dimungkinkan untuk berubah, bertumbuh, berkembang menuju kedewasaan dan kematangan. Meski tak sama, konsep ini parallel dengan konsep self renewal atau pembaruan dirinya.